Bintang Jatuh di Tanah Perantauan
Mentari
mulai menampakkan wajahnya. Suara adzan terdengar dimana-mana. Orang-orang
bergegas ke masjid dengan wajah yang gembira seakan berlomba-lomba untuk
mendapatkan sesuatu yang nilainya tak ada yang menandingi, itulah kebaikan yang
akan didapatkan oleh umat muslim sebagai tanda Allah SWT. ridha terhadap apa
yang telah ia lakukan.
“Lail,
bangun nak. mari kita sholat subuh bersama”. Ucap ibu yang hendak membangunkanku.
”Baik
bu”.
Aku
langsung beranjak dari tempat tidurku dan merapikannya. Cepat-cepat Aku
langsung mengambil air wudhu dan sholat. Ibuku memang selalu begitu,
membangunkanku setiap pagi untuk sholat subuh. Tak henti-hentinya Ia
mengingatkanku untuk melaksanakan sholat lima waktu, kewajiban sebagai umat
muslim.
Seusai
sholat, aku bersiap-siap untuk ke sekolah. Segala sesuatu sudah kusiapkan.
Mulai dari buku pelajaran, dan sebagainya. Pagi ini aku semangat sekali, karena
hari ini hari pertama masuk sekolah setelah sekian lama libur sekolah. Hari ini
merupakan hari pertama masuk sekolah awal semester 2 kelas 3 SMA. Hampir 1
bulan Aku tidak bertemu teman-temanku. Ayah yang melihatku langsung berkata
pada Ibu,
“
Wah, Lail pagi ini sangat semangat bu”. Kata Ayah kepada Ibu.
“Iya
nih yah, Lail tampak semangat sekali.” Ibu membalas.
Akupun
hanya tersenyum mendengar kata-kata Ayah dan Ibu. Kini aku sudah siap untuk berangkat ke
sekolah. Tak lupa aku berpamitan kepada orang tuaku. Kucium tangan Ayah dan Ibuku
sambil mengucapkan salam. Ibuku menyodorkan bekal dan beberapa lembar uang
untuk uang sakuku.
“Lail, ini bekalmu dan ini uang sakumu hari
ini”. ucap ibu.
Aku
termenung sebentar dan terharu. Aku tak tega menerima uang saku tersebut,
karena Aku tahu bahwa Ibu sedang tidak mempunyai uang. Apalagi Ayahku sedang
tidak bekerja. Ayahku hanya bekerja apabila ada orang yang membutuhkan
tenaganya sebagai buruh tani. Hanya pada musim panen dan musim tanam padi. Ibuku seolah memaksaku untuk menerima uang
tersebut. mungkin Ibu khawatir denganku. kubujuk ibu agar tidak memberiku uang
saku dengan alasan bahwa Aku masih mempunyai uang dari tabunganku yang
kuperoleh dari sisa uang jajan setiap harinya.
“Sudah
bu, lebih baik Ibu tak usah memberiku uang. Simpan saja uang itu bu. Lagi pula
Aku masih punya uang dan juga ini sudah membawa bekal.” Kataku untuk membujuk
Ibu.
Ibu
langsung memelukku dan seraya berkata, “Kamu memang anak yang baik Lail, semoga
cita – citamu bisa tercapai dan dapat berguna bagi diri sendiri, maupun orang
lain.”
“Amiin.
Makasih ya bu. Lail hanya minta do’anya Ayah dan Ibu”. Aku membalas doa Ibu.
“Sudah
sekarang jangan berlama-lama dirumah, nanti Lail bisa telat ke sekolahnya”.
Tutur Ayah .
“Oh
iya, Ibu sampai lupa jadinya”. Kata Ibu sambil tersenyum
“Lail pamit dulu ya bu, yah. assalamualaikum”.
Pamitku kepada Ayah dan Ibu.
“Waalaikum
salam. Hati-hati di jalan ya nak.” Jawab Ayah dan Ibu bersamaan.
Aku menyisihkan uang sakuku setiap harinya
untuk berjaga-jaga bila Orangtuaku sedang tidak ada uang. Hal tersebut
kulakukan untuk meringankan beban orangtuaku. Sedikit-sedikit mencoba untuk
tidak merepotkan Ayah dan Ibuku. Untuk membiayaiku sekolah saja sudah repot,
apalagi ditambah uang sakuku.
Sesampainya di sekolah Aku langsung
mencari sahabatku, dia adalah Ana. Aku berteman dengan Ana sejak awal masuk SMA
hingga sekarang. Ana terlahir dari
keluarga yang cukup mampu. Akan tetapi Ia tidak sombong dan tidak pilih-pilih
teman. Akhirnya Aku bertemu dengan Ana. Aku langsung menyapanya.
“Assalamualaikum Ana, bagaimana kabarmu? ”
“Waalaikum
salam Lail, alhamdulillah Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?” jawab Ana
“Alhamdulillah
Aku juga baik.”
“Syukur
deh kalau begitu.”
Setelah
sekian lama berbincang–bincang dengan asyiknya, tak terasa bel masuk sekolah
berbunyi. Aku dan Ana pun langsung masuk ke kelas untuk menerima pelajaran dari
guru. Aku memperhatikan penjelasan dari guru agar Aku dapat paham dengan
pelajaran yang sedang disampaikan. Aku dan Ana melanjutkan pembicaraan tadi
pagi yang belum selasai pada istirahat pertama. Ana memulai obrolan dengan
menanyakan Aku akan melanjutkan di mana.
“Lail,
gak terasa ya kita udah kelas 3. Beberapa minggu lagi kita juga akan
melaksanakan TUC.”
“Iya
nih na, rasanya masih kelas 1 terus.”
“Oh
iya, setelah lulus SMA nanti kamu mau melanjutkan di mana?”
Mendengar
kata-kata Ana Aku berasa campur aduk. Aku sangat bingung bila ditanya tentang
itu. Sebenarnya Aku juga ingin melanjutkan kuliah, tapi apa mungkin orang tuaku
mampu membiayainya?. Astagfirullah, Aku malah jadi tidak bersyukur atas rizki
yang Allah berikan kepadaku selama ini. Melihatku melamun, Ana langung
menegurku.
“Eh
Lail, ditanya kok malah melamun. Jawab donk pertanyaanku!”
“Iya
maaf, tadi cuma kepikiran tentang kucingku. Aku lupa sudah memberi makan dia
atau belum.”
“Oh,
yaudah. Pertanyaanku yang tadi dijawab donk.”
“Iya
na, ehmm.. Aku masih bingung mau melanjutkan di mana”
“Tapi
udah ada gambaran kan?” tanya Ana yang tidak sabaran.
“Udah.
Aku sih udah ada 2 pilihan, tapi Aku bingung mau pilih yang mana. Kamu sendiri
mau nglanjutin di mana na?”
“Aku
mau nglanjutin kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit. Itu impianku sejak SMP.” Jawab Ana
dengan percaya diri.
Obrolan
kami terhenti ketika bel masuk berbunyi.
“Yaudah
yuk Lail, sekarang kita masuk ke kelas” ajak Ana
“Ayo!”
Waktu terus berjalan, Aku dan Ana
sudah melewati beberapa kali Tes Uji Coba. Tibalah waktunya Ujian Nasional. Aku
pun sudah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Sehingga alhamdulillah, Aku
dan Ana bisa mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Nilai yang diperoleh Aku
dan Ana hampir sama. Orang tuaku pun juga cukup bangga atas apa yang Aku
dapatkan. Di balik semua itu, ada rasa
yang mengganjal dalam benak hatiku. Seketika setelah perpisahan statusku sudah
berubah. Statusku sebagai seorang pelajar yang Aku sandang dulu, kini sudah
berubah. Sekarang Aku sudah alih status menjadi pengangguran!. Ya, itulah yang
menjadi pikiranku selama ini. Untung saja KTP yang kumiliki kini, pada kolom
pekerjaan masih tertulis “PELAJAR”. KTP ini Aku dapatkan ketika awal kelas 3
SMA.
Beberapa bulan lagi diadakan tes
seleksi masuk perguruan tinggi. Semakin dekatnya tes seleksi masuk perguruan
tinggi tersebut, semakin Aku merasa sangat tertekan. Semua teman-temanku sibuk
membicarakan itu. Mereka semua sudah menentukan di mana mereka akan melanjutkan
kuliah. Termasuk Ana, Ia akan melanjutkan di salah satu perguruan tinggi
favorit. Ana sudah berkali-kali menanyakan Aku akan manjutkan di mana. Tetapi
Aku selalu berusaha menghindari apabila Ia akan menanyakan tentang itu. Itu
semua kulakukan karena Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Orangtuaku juga
menanyakan hal yang sama. Suatu hari mereka menanyakan kepadaku tentang hal
itu.
“Lail,
sebentar lagi kan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Kamu mau nglanjutin di
mana?” tanya Ayah
“Lail
belum tau yah, Lail takut nanti jadi ngrepotin Ayah dan Ibu. ”
“Astagfirullah
Lail.. kamu jangan berpikiran seperti itu Lail, Ayah dan Ibu tidak akan merasa
terbebani kalau itu untuk kepentinganmu dan masa depanmu.” jawab Ibu
“Iya
lail, betul apa yang dikatakan Ibumu.” Balas Ayah
“Kami
hanya ingin Lail jadi orang yang sukses nantinya. Tidak seperti kami berdua.”
“Tapi
untuk jadi orang sukses kan tidak diukur seberapa tinggi pendidikannya Yah, Bu.
Sekarang ini jadi sarjana aja banyak yang cuma jadi pengangguran.”
“Lail,
sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang keputusanmu itu.”
“Baik
Yah.”
Hari demi hari ku lewati dengan rasa
bimbang. Untuk mengisi kekosonganku, aku iseng mencoba untuk mencari-cari
informasi tentang perguruan tinggi di internet. Kali ini Aku mencoba browsing perguruan tinggi impianku.
Kubaca secara detail setiap informasi yang ada. Aku mencatat hal-hal penting
seperti syarat-syarat masuk perguruan tinggi. Secara tidak sadar timbul kembali
keinginanku untuk melanjutkan kuliah. Ayah dan Ibuku juga sudah menyetujui jika
Aku ingin melanjutkan kuliah. Itu semua juga keinginan mereka agar Aku bisa
jadi sukses nantinya. Ayah dan Ibuku terus menyemangatiku agar tidak putus
semangatku. Tak lupa memohon petunjuk dari Allah Swt. agar setiap langkahku
diridhoi olehNya. Tidak lupa belajar agar bisa mangerjakannya saat tes nanti. Aku
mempersiapkan berkas-berkas untuk mendaftar di perguruan tinggi impianku. Paginya,
Aku langsung mendaftarkan diri. Ternyata Ana juga mendaftar di kampus yang sama
denganku. Ketika Aku melihat Ana di sana, Aku langsung menyapanya.
“Assalamualaikum
Ana, ternyata kamu juga daftar di sini?.”
“Iya
Lail, kok kita bisa sehati sih?.” kata Ana sambil keheranan tidak percaya
“Iya
ya.. Aku juga bingung.” Kataku sambil tertawa
“Yaudah
yuk langsung ke ruang pendaftarannya.” Ajak Ana
“Ayo..
biar cepet kelar.”
Setelah
kami mendaftar, Ana mengajakku ke rumahnya untuk belajar bersama persiapan tes
nanti. Kami berdua saling membantu apabila ada soal yang sulit. Jadi, Aku dan
Ana tidak perlu les untuk persiapan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Lumayan
bisa menghemat uang. Apabila Aku dan Ana mulai merasa jenuh, Aku dan Ana
jalan-jalan keliling kota dengan sepeda.
Akhirnya
tiba juga tes seleksinya. Alhamdulillah, Aku dan Ana diterima. Aku merasa
senang sekali karena akhirnya Kami berdua bisa satu kampus. Sepulang pengumuman
penerimaan, Aku langsung memberi tahu Ayah dan Ibuku bahwa Aku diterima di
sana. Ayah dan Ibuku sangat senang mendengar hal itu. Setelah pengumuman tes
seleksi, para mahasiswa baru yang dinyatakan diterima, disuruh melakukan
pendaftaran ulang dan melengkapi berkas-berkas yang masih belum lengkap,
termasuk pemberitahuan masalah administrasinya. Aku benar-benar kaget setelah
mengetahui pembayaran per semesterannya. Mana mungkin Ayah dan Ibuku sanggup membiayai
kuliahku jika biaya persemesternya sebesar itu. Uang sebesar itu bisa untuk
pemenuhan kebutuhan untuk makan sehari-hari selama beberapa bulan. Apalagi uang
yang diperoleh Ayahku tidak menentu. Bisa saja semester ini Ayahku mampu
membiayai. Tapi, bagaimana dengan semester selanjutnya?. Uh.. sekali lagi Aku
dilanda kebingungan. Sebenarnya Aku tidak ingin melewatkan kesempatan emas yang
kali ini kudapat. Bisa jadi mahasiswa di sini merupakan impianku dari dulu.
Orang tuaku juga senang bila Aku diterima di sana. Tetapi, Aku juga tidak boleh
egois. Di baik semua itu, orangtuaku menyembunyikan beban yang sangat mendalam.
Memikirkan bagaimana cara memperoleh uang untuk membiayai kuliahku. Aku berdoa
dan memohon petunjuk kepada Sang Khaliq. Aku tidak dapat begini terus, Aku
harus cepat-cepat mengambil keputusan.
Dengan pertimbangan yang lain,
kuputuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di sana. Aku menyampaikan hal ini
kepada Ayah dan Ibu. Kuberanikan diri untuk mengatakan apa yang sedang
mengganjal di hatiku kepada orangtuaku. Aku menghampiri Ayah dan Ibu yang
sedang santai duduk di teras.
“Ayah..
Ibu, Lail mau bicara dangan Ayah dan Ibu.”
“Ya,
silahkan kalau Lail mau bicara dengan kami.” Ucap Ayah
“Lail
sudah memutuskan, kalau Lail tidak akan melanjutkan kuliah di sana. Ayah dan
Ibu tenang saja, nanti Lail bisa cari perguruan tingi kedinasan saja.”
“Tetapi,
apa alasan Lail untuk tidak melanjutkan kuliah di sana? ” kata Ayah
“Iya
Lail, padahal ini kesempatan emas kamu untuk bisa kuliah di sana. Tidak semua
orang bisa kuliah di sana. ”
“Maafkan
Lail Ayah, Ibu. Bukannya Lail mau mengecewakan Ayah dan Ibu. Tapi Lail ada yang
nggak srek di sana. ”
“Itu
sih terserah kamu, kalau menurutmu itu yang terbaik. Ayah dan Ibu cuma bisa
memberi saran dan mendoakan kamu saja.”
“Iya
Yah.”
“Terus
Lail kapan mau mendaftar di perguruan tinggi kedinasannya?” tanya Ibu
“mungkin
beberapa minggu lagi. Soalnya pendaftaran biasanya lebih telat dari pada
perguruan tinggi non kedinasan Yah, Bu.”
“Semoga
kamu ketrima di sana Lail,”
“Amiin..
terima kasih Ayah, Ibu. Lail sangat sayang dengan Ayah dan Ibu.” Aku memeluk
Ayah dan Ibu
Setelah memperoleh izin dari Ayah
dan Ibu, dengan penuh semangat aku mempersiapkan segala sesuatu untuk
pendaftarannya. Pendaftaran kali ini berbeda, tidak hanya tes tertulis, ada
berbagai macam tes yang dilaksanakan seperti tes wawancara, tes kesehatan, tes
kebugaran, dll. Aku membicarakan hal ini kepada Ana. Ana tampak kecewa dengan
hal ini, karena tidak jadi satu kampus dengannya. Akan tetapi, dia sahabat yang
baik. Tetap memberi semangat kepadaku. Baginya, tidak satu kampus tidak akan
memutuskan persahabatan. Mungkin itu sudah jadi jalannya masing-masing. Kita
sebagai hambaNya hanya dapat berdoa dan berusaha. Kita mau jadi apa itu semua
sudah takdir yang Allah Swt. tetapkan. Kita semua hanya dapat berusaha agar
dapat menjadi yang lebih baik.
Akhirnya Aku bisa diterima di salah
satu perguruan tinggi kedinasan. Aku sangat senang sekali. Kali ini Aku tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Keputusanku sudah bulat untuk menimba
ilmu di sini. Walaupun sangat berat harus merantau ke luar pulau Jawa dan
meninggalkan keluargaku untuk sementara. Selain dukungan orang tuaku, kata
mutiara dari Ulama Imam Syafi’i kujadikan semangat dalam menuntut ilmu Semoga
keputusanku kali ini tidak salah dan dapat membahagiakan kedua orangtuaku
kelak. Amiin.
Orang berilmu
dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan
negrimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau
akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah,
manisnya terasa setelah berjuang
Aku melihat air
menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir
menjadi jernih, jika tidak,kan keruh menggenang
Singa jika tak
tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika
tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran..