Rabu, 27 Januari 2016

cerpen

Bintang Jatuh di Tanah Perantauan
Mentari mulai menampakkan wajahnya. Suara adzan terdengar dimana-mana. Orang-orang bergegas ke masjid dengan wajah yang gembira seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan sesuatu yang nilainya tak ada yang menandingi, itulah kebaikan yang akan didapatkan oleh umat muslim sebagai tanda Allah SWT. ridha terhadap apa yang telah ia lakukan.
“Lail, bangun nak. mari kita sholat subuh bersama”. Ucap ibu yang hendak membangunkanku.
”Baik bu”.
Aku langsung beranjak dari tempat tidurku dan merapikannya. Cepat-cepat Aku langsung mengambil air wudhu dan sholat. Ibuku memang selalu begitu, membangunkanku setiap pagi untuk sholat subuh. Tak henti-hentinya Ia mengingatkanku untuk melaksanakan sholat lima waktu, kewajiban sebagai umat muslim.
Seusai sholat, aku bersiap-siap untuk ke sekolah. Segala sesuatu sudah kusiapkan. Mulai dari buku pelajaran, dan sebagainya. Pagi ini aku semangat sekali, karena hari ini hari pertama masuk sekolah setelah sekian lama libur sekolah. Hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah awal semester 2 kelas 3 SMA. Hampir 1 bulan Aku tidak bertemu teman-temanku. Ayah yang melihatku langsung berkata pada Ibu,
“ Wah, Lail pagi ini sangat semangat bu”. Kata Ayah kepada Ibu.
“Iya nih yah, Lail tampak semangat sekali.” Ibu membalas.
Akupun hanya tersenyum mendengar kata-kata Ayah dan Ibu.  Kini aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa aku berpamitan kepada orang tuaku. Kucium tangan Ayah dan Ibuku sambil mengucapkan salam. Ibuku menyodorkan bekal dan beberapa lembar uang untuk uang sakuku.
 “Lail, ini bekalmu dan ini uang sakumu hari ini”. ucap ibu.
Aku termenung sebentar dan terharu. Aku tak tega menerima uang saku tersebut, karena Aku tahu bahwa Ibu sedang tidak mempunyai uang. Apalagi Ayahku sedang tidak bekerja. Ayahku hanya bekerja apabila ada orang yang membutuhkan tenaganya sebagai buruh tani. Hanya pada musim panen dan musim tanam padi.  Ibuku seolah memaksaku untuk menerima uang tersebut. mungkin Ibu khawatir denganku. kubujuk ibu agar tidak memberiku uang saku dengan alasan bahwa Aku masih mempunyai uang dari tabunganku yang kuperoleh dari sisa uang jajan setiap harinya.
“Sudah bu, lebih baik Ibu tak usah memberiku uang. Simpan saja uang itu bu. Lagi pula Aku masih punya uang dan juga ini sudah membawa bekal.” Kataku untuk membujuk Ibu.
Ibu langsung memelukku dan seraya berkata, “Kamu memang anak yang baik Lail, semoga cita – citamu bisa tercapai dan dapat berguna bagi diri sendiri, maupun orang lain.”
“Amiin. Makasih ya bu. Lail hanya minta do’anya Ayah dan Ibu”. Aku membalas doa Ibu.
“Sudah sekarang jangan berlama-lama dirumah, nanti Lail bisa telat ke sekolahnya”. Tutur Ayah .
“Oh iya, Ibu sampai lupa jadinya”. Kata Ibu sambil tersenyum
 “Lail pamit dulu ya bu, yah. assalamualaikum”. Pamitku kepada Ayah dan Ibu.
“Waalaikum salam. Hati-hati di jalan ya nak.” Jawab Ayah dan Ibu bersamaan.
 Aku menyisihkan uang sakuku setiap harinya untuk berjaga-jaga bila Orangtuaku sedang tidak ada uang. Hal tersebut kulakukan untuk meringankan beban orangtuaku. Sedikit-sedikit mencoba untuk tidak merepotkan Ayah dan Ibuku. Untuk membiayaiku sekolah saja sudah repot, apalagi ditambah uang sakuku.
            Sesampainya di sekolah Aku langsung mencari sahabatku, dia adalah Ana. Aku berteman dengan Ana sejak awal masuk SMA hingga sekarang.  Ana terlahir dari keluarga yang cukup mampu. Akan tetapi Ia tidak sombong dan tidak pilih-pilih teman. Akhirnya Aku bertemu dengan Ana. Aku langsung menyapanya.
 “Assalamualaikum Ana, bagaimana kabarmu? ”
“Waalaikum salam Lail, alhamdulillah Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?” jawab Ana
“Alhamdulillah Aku juga baik.”
“Syukur deh kalau begitu.”
Setelah sekian lama berbincang–bincang dengan asyiknya, tak terasa bel masuk sekolah berbunyi. Aku dan Ana pun langsung masuk ke kelas untuk menerima pelajaran dari guru. Aku memperhatikan penjelasan dari guru agar Aku dapat paham dengan pelajaran yang sedang disampaikan. Aku dan Ana melanjutkan pembicaraan tadi pagi yang belum selasai pada istirahat pertama. Ana memulai obrolan dengan menanyakan Aku akan melanjutkan di mana.
“Lail, gak terasa ya kita udah kelas 3. Beberapa minggu lagi kita juga akan melaksanakan TUC.”
“Iya nih na, rasanya masih kelas 1 terus.”
“Oh iya, setelah lulus SMA nanti kamu mau melanjutkan di mana?”
Mendengar kata-kata Ana Aku berasa campur aduk. Aku sangat bingung bila ditanya tentang itu. Sebenarnya Aku juga ingin melanjutkan kuliah, tapi apa mungkin orang tuaku mampu membiayainya?. Astagfirullah, Aku malah jadi tidak bersyukur atas rizki yang Allah berikan kepadaku selama ini. Melihatku melamun, Ana langung menegurku.
“Eh Lail, ditanya kok malah melamun. Jawab donk pertanyaanku!”
“Iya maaf, tadi cuma kepikiran tentang kucingku. Aku lupa sudah memberi makan dia atau belum.”
“Oh, yaudah. Pertanyaanku yang tadi dijawab donk.”
“Iya na, ehmm.. Aku masih bingung mau melanjutkan di mana”
“Tapi udah ada gambaran kan?” tanya Ana yang tidak sabaran.
“Udah. Aku sih udah ada 2 pilihan, tapi Aku bingung mau pilih yang mana. Kamu sendiri mau nglanjutin di mana na?”
“Aku mau nglanjutin kuliah di salah satu perguruan tinggi  favorit. Itu impianku sejak SMP.” Jawab Ana dengan percaya diri.
Obrolan kami terhenti ketika bel masuk berbunyi.
“Yaudah yuk Lail, sekarang kita masuk ke kelas” ajak Ana
“Ayo!”
            Waktu terus berjalan, Aku dan Ana sudah melewati beberapa kali Tes Uji Coba. Tibalah waktunya Ujian Nasional. Aku pun sudah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Sehingga alhamdulillah, Aku dan Ana bisa mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Nilai yang diperoleh Aku dan Ana hampir sama. Orang tuaku pun juga cukup bangga atas apa yang Aku dapatkan. Di balik semua itu,  ada rasa yang mengganjal dalam benak hatiku. Seketika setelah perpisahan statusku sudah berubah. Statusku sebagai seorang pelajar yang Aku sandang dulu, kini sudah berubah. Sekarang Aku sudah alih status menjadi pengangguran!. Ya, itulah yang menjadi pikiranku selama ini. Untung saja KTP yang kumiliki kini, pada kolom pekerjaan masih tertulis “PELAJAR”. KTP ini Aku dapatkan ketika awal kelas 3 SMA.
            Beberapa bulan lagi diadakan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Semakin dekatnya tes seleksi masuk perguruan tinggi tersebut, semakin Aku merasa sangat tertekan. Semua teman-temanku sibuk membicarakan itu. Mereka semua sudah menentukan di mana mereka akan melanjutkan kuliah. Termasuk Ana, Ia akan melanjutkan di salah satu perguruan tinggi favorit. Ana sudah berkali-kali menanyakan Aku akan manjutkan di mana. Tetapi Aku selalu berusaha menghindari apabila Ia akan menanyakan tentang itu. Itu semua kulakukan karena Aku belum tahu apa yang akan kulakukan. Orangtuaku juga menanyakan hal yang sama. Suatu hari mereka menanyakan kepadaku tentang hal itu.
“Lail, sebentar lagi kan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Kamu mau nglanjutin di mana?” tanya Ayah
“Lail belum tau yah, Lail takut nanti jadi ngrepotin Ayah dan Ibu. ”
“Astagfirullah Lail.. kamu jangan berpikiran seperti itu Lail, Ayah dan Ibu tidak akan merasa terbebani kalau itu untuk kepentinganmu dan masa depanmu.” jawab Ibu
“Iya lail, betul apa yang dikatakan Ibumu.” Balas Ayah
“Kami hanya ingin Lail jadi orang yang sukses nantinya.  Tidak seperti kami berdua.”
“Tapi untuk jadi orang sukses kan tidak diukur seberapa tinggi pendidikannya Yah, Bu. Sekarang ini jadi sarjana aja banyak yang cuma jadi pengangguran.”
“Lail, sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang keputusanmu itu.”
“Baik Yah.”
            Hari demi hari ku lewati dengan rasa bimbang. Untuk mengisi kekosonganku, aku iseng mencoba untuk mencari-cari informasi tentang perguruan tinggi di internet. Kali ini Aku mencoba browsing perguruan tinggi impianku. Kubaca secara detail setiap informasi yang ada. Aku mencatat hal-hal penting seperti syarat-syarat masuk perguruan tinggi. Secara tidak sadar timbul kembali keinginanku untuk melanjutkan kuliah. Ayah dan Ibuku juga sudah menyetujui jika Aku ingin melanjutkan kuliah. Itu semua juga keinginan mereka agar Aku bisa jadi sukses nantinya. Ayah dan Ibuku terus menyemangatiku agar tidak putus semangatku. Tak lupa memohon petunjuk dari Allah Swt. agar setiap langkahku diridhoi olehNya. Tidak lupa belajar agar bisa mangerjakannya saat tes nanti. Aku mempersiapkan berkas-berkas untuk mendaftar di perguruan tinggi impianku. Paginya, Aku langsung mendaftarkan diri. Ternyata Ana juga mendaftar di kampus yang sama denganku. Ketika Aku melihat Ana di sana, Aku langsung menyapanya.
“Assalamualaikum Ana, ternyata kamu juga daftar di sini?.”
“Iya Lail, kok kita bisa sehati sih?.” kata Ana sambil keheranan tidak percaya
“Iya ya.. Aku juga bingung.” Kataku sambil tertawa
“Yaudah yuk langsung ke ruang pendaftarannya.” Ajak Ana
“Ayo.. biar cepet kelar.”
Setelah kami mendaftar, Ana mengajakku ke rumahnya untuk belajar bersama persiapan tes nanti. Kami berdua saling membantu apabila ada soal yang sulit. Jadi, Aku dan Ana tidak perlu les untuk persiapan tes seleksi masuk perguruan tinggi. Lumayan bisa menghemat uang. Apabila Aku dan Ana mulai merasa jenuh, Aku dan Ana jalan-jalan keliling kota dengan sepeda.
Akhirnya tiba juga tes seleksinya. Alhamdulillah, Aku dan Ana diterima. Aku merasa senang sekali karena akhirnya Kami berdua bisa satu kampus. Sepulang pengumuman penerimaan, Aku langsung memberi tahu Ayah dan Ibuku bahwa Aku diterima di sana. Ayah dan Ibuku sangat senang mendengar hal itu. Setelah pengumuman tes seleksi, para mahasiswa baru yang dinyatakan diterima, disuruh melakukan pendaftaran ulang dan melengkapi berkas-berkas yang masih belum lengkap, termasuk pemberitahuan masalah administrasinya. Aku benar-benar kaget setelah mengetahui pembayaran per semesterannya. Mana mungkin Ayah dan Ibuku sanggup membiayai kuliahku jika biaya persemesternya sebesar itu. Uang sebesar itu bisa untuk pemenuhan kebutuhan untuk makan sehari-hari selama beberapa bulan. Apalagi uang yang diperoleh Ayahku tidak menentu. Bisa saja semester ini Ayahku mampu membiayai. Tapi, bagaimana dengan semester selanjutnya?. Uh.. sekali lagi Aku dilanda kebingungan. Sebenarnya Aku tidak ingin melewatkan kesempatan emas yang kali ini kudapat. Bisa jadi mahasiswa di sini merupakan impianku dari dulu. Orang tuaku juga senang bila Aku diterima di sana. Tetapi, Aku juga tidak boleh egois. Di baik semua itu, orangtuaku menyembunyikan beban yang sangat mendalam. Memikirkan bagaimana cara memperoleh uang untuk membiayai kuliahku. Aku berdoa dan memohon petunjuk kepada Sang Khaliq. Aku tidak dapat begini terus, Aku harus cepat-cepat mengambil keputusan.
            Dengan pertimbangan yang lain, kuputuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di sana. Aku menyampaikan hal ini kepada Ayah dan Ibu. Kuberanikan diri untuk mengatakan apa yang sedang mengganjal di hatiku kepada orangtuaku. Aku menghampiri Ayah dan Ibu yang sedang santai duduk di teras.
“Ayah.. Ibu, Lail mau bicara dangan Ayah dan Ibu.”
“Ya, silahkan kalau Lail mau bicara dengan kami.” Ucap Ayah
“Lail sudah memutuskan, kalau Lail tidak akan melanjutkan kuliah di sana. Ayah dan Ibu tenang saja, nanti Lail bisa cari perguruan tingi kedinasan saja.”
“Tetapi, apa alasan Lail untuk tidak melanjutkan kuliah di sana? ” kata Ayah
“Iya Lail, padahal ini kesempatan emas kamu untuk bisa kuliah di sana. Tidak semua orang bisa kuliah di sana. ”
“Maafkan Lail Ayah, Ibu. Bukannya Lail mau mengecewakan Ayah dan Ibu. Tapi Lail ada yang nggak srek di sana. ”
“Itu sih terserah kamu, kalau menurutmu itu yang terbaik. Ayah dan Ibu cuma bisa memberi saran dan mendoakan kamu saja.”
“Iya Yah.”
“Terus Lail kapan mau mendaftar di perguruan tinggi kedinasannya?” tanya Ibu
“mungkin beberapa minggu lagi. Soalnya pendaftaran biasanya lebih telat dari pada perguruan tinggi non kedinasan Yah, Bu.”
“Semoga kamu ketrima di sana Lail,”
“Amiin.. terima kasih Ayah, Ibu. Lail sangat sayang dengan Ayah dan Ibu.” Aku memeluk Ayah dan Ibu
            Setelah memperoleh izin dari Ayah dan Ibu, dengan penuh semangat aku mempersiapkan segala sesuatu untuk pendaftarannya. Pendaftaran kali ini berbeda, tidak hanya tes tertulis, ada berbagai macam tes yang dilaksanakan seperti tes wawancara, tes kesehatan, tes kebugaran, dll. Aku membicarakan hal ini kepada Ana. Ana tampak kecewa dengan hal ini, karena tidak jadi satu kampus dengannya. Akan tetapi, dia sahabat yang baik. Tetap memberi semangat kepadaku. Baginya, tidak satu kampus tidak akan memutuskan persahabatan. Mungkin itu sudah jadi jalannya masing-masing. Kita sebagai hambaNya hanya dapat berdoa dan berusaha. Kita mau jadi apa itu semua sudah takdir yang Allah Swt. tetapkan. Kita semua hanya dapat berusaha agar dapat menjadi yang lebih baik.
            Akhirnya Aku bisa diterima di salah satu perguruan tinggi kedinasan. Aku sangat senang sekali. Kali ini Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Keputusanku sudah bulat untuk menimba ilmu di sini. Walaupun sangat berat harus merantau ke luar pulau Jawa dan meninggalkan keluargaku untuk sementara. Selain dukungan orang tuaku, kata mutiara dari Ulama Imam Syafi’i kujadikan semangat dalam menuntut ilmu Semoga keputusanku kali ini tidak salah dan dapat membahagiakan kedua orangtuaku kelak. Amiin.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negrimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya terasa setelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak,kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran..